Aku belum beranjak dari tempat dudukku. Sudah hampir satu jam aku termenung di sini. Memikirkan suatu hal yang seharusnya sudah kulupakan.
“Astaga…! Pasti dari Rena.” Tebakku. Aku segera ke kamar dan mengambil HP yang kuletakkan di atas kasur sebelum aku keluar. Benar saja dugaanku. Itu dari Rena. Delapan pesan dan empat belas missed call. Aku segera menghubungi Rena karena aku tak mau membuatnya semakin khawatir.
“Halo…Assalamu Alaikum…” suara Rena terdengar parau di telingaku.
“Wa alaikum salam.” Jawabku. “Maaf sayang… tadi aku nggak membalas SMS dan mengangkat telepon dari kamu. Soalnya aku abis nemenin Anton ke supermarket dan aku lupa membawa HP.” bohongku. Sesaat aku tak mendapat jawaban dari seberang. Yang kudengar hanya suara isakan. Sepertinya Rena menangis, pikirku.
“Yank…kamu nangis?” tanyaku.
“Kamu bikin aku khawatir tahu! Aku pikir kamu kenapa-kenapa.” Jawabnya.
“Sekali lagi maafin aku yah sayang. Aku bener-bener nggak bermaksud membuat kamu khawatir.
“Yah…tapi, lain kali kamu jangan gitu lagi yah sayang!”
“Iya sayang. Aku janji. Sekarang kamu jangan nangis lagi yah!” bujukku.
“Yah…”
“Nah gitu donk! Itu baru pacar Evan… kalo gitu, udah dulu yah. Aku ngantuk nih yank!”
“Iya. Met tidur.”
“Yuppzt… love you sayang!”
“Love you too…!” telepon kemudian terputus. Aku menghela nafas panjang. Kemudian kulemparkan tubuhku ke kasur. Kutatap langit-langit kamar. Kumelihat wajah Rena ada di sana. Namun, tiba-tiba wajah itu berubah menjadi wajah perempuan lain. Sosok perempuan yang pernah mengisi hatiku. Dulu. Sebelum aku bersama Rena. Pikiranku melayang entah ke mana. Tak lama setelah itu, aku pun terlelap.
***
Kulihat jam di tanganku. Sudah pukul 12.35. Aku mulai jenuh menunggu di tempat ini. Gerah dan panas. Tapi, untuk Rena aku selalu rela. Karena dia adalah pacarku. Lima menit kembali berlalu. Belum ada tanda-tanda Rena keluar dari kelasnya. Beberapa saat setelah itu, sepasang tangan telah menutup kedua mataku.
“Tebak… aku siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan pacarku tersayang…”
“Ihh…kok kamu tahu sich yank?” ujar Rena dengan manja.
“Iya donk!” aku tersenyum.
“Udah lama nunggu yah?”
“Mmmhh… lumayan. Sekitar 10 jam mungkin.” Candaku.
“Kamu ada-ada aja dech!”
“Hehehe…jadi sekarang planning-nya mau ke mana nich sayang? Langsung pulang atau jalan dulu?”
“Jalan dulu yah! Aku lapar nich yank!”
“Tapi, kamu yang neraktir yah!”
“Ayank…aku lagi bokek nich.”
“Iya…iya… sayang. Aku cuma bercanda kok! Yuk!” Rena hanya tersenyum. Kemudian dia naik diboncenganku. Sekitar 15 menit kemudian, kami akhirnya sampai di restoran yang biasa kami tempati makan. Aku kemudian memesan makanan dan mengobrol bersama Rena. Tak lama setelah itu, tiba-tiba seorang perempuan manis menghampiri kami.
“Hy Van… Masih ingat aku kan?” sapanya.
“Hmm…eh, iya. Aku masih ingat kok.” Balasku.
“Siapa yank?” tanya Rena.
“Pacar kamu Van?” perempuan itu bertanya lagi.
“Iya. Dia pacar aku. Kenalin Cit, ini Rena. Dan Rena, ini Citra. Teman aku.”
“Rena…”
“Citra…” mereka kemudian berjabat tangan.
“Nggak keberatan kan kalau aku gabung sama kalian?” tanya Citra. Aku tak menjawab. Kulihat Rena, di wajahnya tersimpan kecemburuan. Tapi, aku tak menyangka dia mengiyakan tawaran Citra. Kini aku diapit dua perempuan. Pacarku dan…
“Anton, tahu nggak tadi di restoran gue ketemu siapa?”
“Nggak tahu tuh. Yang jalan kan loe. Bukan gue.”
“Aduh, maksud gue bukan gitu. Gini, tadi waktu gue jalan sama Rena, gue ketemu sama Citra.”
“Citra? Mantan loe itu?”
“Iya.”
“Lalu?”
“Loe tahu kan Ton, gimana perasaan gue ke Citra?”
“Udahlah Van, lupain aja Citra itu! Lagian, loe udah sama-sama Rena kan? Dan kelihatannya kalian bahagia-bahagia aja kan?”
“Nggak bisa Ton. Loe tahu sendiri kan, selama ini Rena hanya…”
“Van, coba dech loe pikirin perasaan Rena. Dia tuh sayank banget sama loe. Pikir donk Van, apa yang bakal terjadi sama Rena kalau dia tahu kalau loe cuma mainin perasaan dia!” bentak Anton.
“Iya. Gue ngerti Ton. Tapi, gue nggak pernah bermaksud kayak gitu. Semuanya terlalu cepat. Gue nggak tahu kenapa gue dulu gue langsung nembak Rena. Mungkin, karena gue terlalu sakit hati gara-gara Citra. Tapi, saat itu gue emang menaruh perasaan pada Rena.” Jelasku.
“Lalu, apalagi yang menjadi masalah sekarang?”
“Citra Ton. Citra!”
“Gue udah bilang, loe harus ngelupain cewek itu. Apalagi sich yang loe harepin dari dia? Bukannya dia dulu yang nge-duain loe? Lantas apalagi? Belum tentu juga dia masih mencintai loe.
“Tapi, gue masih mencintai dia.” Tegasku.
“Lalu Rena? Loe mau apain si Rena?”
“Entahlah. Gue emang sayang sama Rena. Tapi, hanya sekedar sayang. Bukan cinta.”
“Bangsat loe Van!” Anton menonjokku hingga aku tersungkur di lantai.
“Pukul gue Ton! Pukul! Gue emang pantas buat dipukulin. Gue emang bodoh! Silahkan pukul gue!” Anton kemudian menarik bajuku dan kembali menonjok perutku.
“Loe emang pantas dipukulin Van! Loe emang bajingan! Loe brengsek!” ujar Anton.
“Maafin gue Ton. Maafin gue. Gue tahu loe kecewa sama gue. Tapi…”
“Loe nggak perlu minta maaf sam gue Van. Seharunya loe minta maaf sama Rena. Van. Loe itu sahabat gue. Sedangkan Rena, dia teman gue. Gue kasihan sama Rena Van. Gue kasihan.” Anton menangis. Baru kali ini aku melihat Anton menangis. Dia menangis karena aku. Karena kebrengsekanku. Aku kemudian memeluk Anton.
“Sob. Maafin gue. Tapi, gue nggak bisa ngelupain Citra.” Anton melepaskan tubuhnya dari pelukanku. Kemudian dia pergi. Entah dia mau ke mana. Aku kemudian termenung. Tak terasa air mataku menetes. Mungkin aku terlalu egois. Tapi, aku tak dapat memaksakan keadaan ini. Aku harus melakukan sesuatu. Tak lama setelah itu, ponselku bordering. Tanda panggilan masuk. Awalnya, kupikir itu dari Rena. Tapi ternyata dugaanku salah. Itu telepon dari Citra. Aku agak ragu. Tapi, akhirnya kujawab juga panggilan darinya.
“Assalamu alaikum.”
“Van…”
“Yah. Ada apa Cit?”
“Aku cuma mau ngucapin selamat.”
“Selamat?” aku bingung.
“Yah. Selamat karena kamu udah dapetin pengganti aku.”
“Oh.”
“Van… aku mau minta maaf sama kamu.”
“Minta maaf kenapa?”
“Karena dulu aku udah ninggalin kamu demi cowok lain. Dan sekarang aku sadar, nggak ada yang lebih baik dari kamu Van. Tapi, aku rasa semuanya udah terlambat.”
“Terlambat? Terlambat apa maksud kamu Cit?”
“Dulu, kupikir kita bisa memperbaiki hubungan kita lagi. Tapi, sekarang kurasa semuanya sudah percuma karena kamu udah ada yang memiliki.”
“Nggak Cit. Nggak ada yang terlambat. Kita masih bisa memperbaiki semuanya dan memulai dari awal kembali.”
“Lalu Rena?”
“Entahlah Cit. Aku juga nggak tahu. Tapi, selama kamu pergi dari hidup aku, aku seperti hancur. Dan kuputuskan untuk menembak Rena. Aku berharap dengan mendekatinya, aku bisa ngelupain kamu. Tapi, aku nggak bisa Cit. aku terlalu mencintai kamu.”
“Jadi…”
“Aku mau kita balik kayak dulu.” Pintaku.
“Kamu serius Van?”
“Yah. Aku serius. Kamu mau kan jadi pacar aku lagi Cit?”
“Aku mau Van. Mau banget. Tapi…”
“Kamu nggak usah mikirin soal Rena. Aku akan nyari cara buat bisa putus sama dia secepatnya. Asalkan kamu mau menunggu. Aku janji Cit…”
“Aku akan selalu menunggu kamu Van.”
“Makasih Cit… aku sayang kamu.”
“Aku juga sayang sama kamu.” Aku kemudian ngobrol lama dengan Citra. Kuungkapkan semuanya pada Citra. Bahkan aku memberitahu dia bahwa sebenarnya tak pernah ada cinta di hatiku untuk Rena. Entah mengapa semua ucapan itu mengalir begitu saja. Kadang aku merasa bersalah pada Rena jika kudengar gelak tawa Citra setiap kubercerita tentang kekurangan Rena. Dan Citra, dia merasa sangat puas. Setelah lama berbincang-bincang dengan Citra telepon pun diputuskan. Tak kurasa air mataku kembali menetes.
“Apa yang udah aku lakuin? Aku ngeduain Rena. Padahal Rena sangat menyayangi aku. Tapi, aku nggak bisa menepis perasaan aku ke Citra. Ya Tuhan… cobaan apalagi ini? Kenapa Citra harus datang kembali ketika aku mencoba merajut hubungan dengan Rena.” Batinku bersuara. Setelah aku puas menumpahkan seluruh kegelisahanku kuputuskan untuk melepas gerah dengan mandi. Tapi, baru beberapa saat aku beranjak dari tempat dudukku, ponselku kembali berdering.
“Assalamu alaikum.”
“Wa alaikum salam. Sayang, lagi di mana?”
“Di rumah. Kenapa?”
“Temenin aku yah!”
“Ke mana lagi sich Ren?” tanyaku setengah membentak.
“Aku mau beli keperluan sekolah. Bisa yah yank?”
“Aku nggak bisa Ren. Aku capek. Udah dulu yah!” kumatikan telepon dan kembali berbaring di tempat tidurku. Perasaan bersalah kembali muncul dalam hatiku. Aku menjadi semakin gerah. Namun, rasanya kakiku enggan untuk melangkah ke mana-mana. Rasanya kakiku terlalu berat untuk kulangkahkan. Banyak beban yang harus kupikul sendiri dan tak ada yang dapat membantuku menyelesaikan masalahku ini. Anton, sahabatku pun tak bisa. Bahkan dia begitu marah terhadapku. Aku benar-benar bingung. Kini, pikiranku melayang pada Rena. Sedang apa dia sekarang? Apa dia menangis lagi? Apa sikapku tadi keterlaluan? Mungkinkah Rena menangis lagi? Rena begitu rapuh. Segala sesuatu dia libatkan dengan perasaan. Kadang aku tak tega jika mendengar isakannya. Tapi, apa lagi yang harus aku perbuat, aku terlanjur telah menduakannya. Membagi cinta untuk seseorang yang pernah memilikiku. Kuakui aku salah, tapi aku benar-benar khilaf. Aku tak tahu harus memilih siapa. Meski awalnya Rena memang hanya kujadikan pelarian, tapi tak kusangka aku juga telah mencintainya. Perasaan itu datang begitu saja seiring dengan berjalannya waktu. Bagaimanapun, selama ini Rena telah menemaniku dan yang aku tahu, dia begitu menyayangiku. Dia terlalu baik, dan sabar buatku. Nyaris dia tak pernah marah padaku. Justru aku yang sering marah padanya meski hanya karena hal-hal kecil. Tapi, apa yang telah aku lakukan hari ini membuat aku berpikir bahwa aku adalah cowok terbodoh di dunia ini.
Kulirik jam di dinding kamarku. Sudah pukul 17.45. Tiba-tiba kuteringat pada Anton. Ke mana anak itu? Kenapa jam segini dia belum balik. Lagi-lagi aku merasa bersalah. Aku tahu Anton sangat marah dan kecewa kepadaku. Tapi, aku benar-benar tak dapat berbuat apa-apa. Dan akhirnya, kuputuskan untk mandi dan melepas seluruh rasa gerahku.
Malam yang dingin. Anton belum kembali. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Aku menunggunya hingga pukul 11 malam. Ketika mataku sudah merasakan kantuk yang luar biasa, akhirnya aku pun terlelap. Aku bahkan tak sadar ketika Anton sudah kembali. Ketika kubuka mata, tiba-tiba saja dia sudah ada di dekatku. Aku tak membangunnya karena ku tahu dia pasti kelelahan. Aku pun ke sekolah sendiri.
Sepulang dari sekolah, aku janjian bertemu dengan Citra di restoran “With Love”. Ini kali pertama aku bertemu berdua dengannya sejak perpisahanku 3 bulan yang lalu.
“Cit…” kuraih jemari Citra.
“Ya…”
“Aku kangen banget sama kamu. Aku nggak nyangka kita bisa balik kayak dulu lagi.”
“Aku juga kangen sama kamu Van.” Balas Citra. Aku pun mencium jemarinya yang dari tadi kugenggam.
“Evan…!!!” sebuah suara mengagetkanku.
“Re..Rena…”
“Apa-apaan ini? Citra? Bukannya dia teman kamu? Tapi…” Rena tak bisa melanjutkan kata-katanya. Kulihat butir-butir bening mulai mengalir di pipinya. Aku pun mendekati Rena. Tapi, dia lari dan mencoba menghindar dariku.
“Rena tunggu!” panggilku. Namun, Rena mengacuhkanku. Aku terus mengejarnya hingga dia berhenti di suatu tempat yang cukup sepi.
“Rena, maafin aku!” kuraih Rena dalam pelukanku.
“Kamu jahat Van! Kamu jahat! Aku benci kamu. Aku benci!” Rena setengah berteriak.
“Ren, dengerin penjelasan aku dulu. Please…”
“Apa lagi yang mau kamu jelasin Van? Kamu mau bilang kalau dia itu teman kamu? Gitu? Aku nggak percaya Van! Mana ada teman yang begitu mesra seperti tadi. Aku nggak bodoh Van.” Rena terus menangis.
“Ren…”
“Udahlah Van. Apalagi yang mau kamu tutup-tutupin dari dia.” Suara Citra tiba-tiba mengagetkanku. “Ren, Evan itu sebenarnya mantan aku. Dan kemarin kami balikan.” Ujar Citra.
“Apa?” kulihat Rena tampak begitu kaget dengan pengakuan dari Citra.
“Cit…” aku berusaha mencegah Citra untuk menceritakan semuanya pada Rena.
“Kenapa Van? Bukannya kamu sendiri yang bilang ke aku kalau selama ini Rena hanya pelarian kamu? Dan bukankah kemarin kamu nyuruh aku nunggu kamu untuk putus dengan Rena? Lalu apa lagi? Ini kan yang kamu inginkan?” Citra terus bersuara. Sedangkan Rena hanya bisa terisak mendengar setiap ucapan dari Citra. Ku tahu Rena sangat terluka aku pun tak bisa tinggal diam.
“Stop Cit! Stop!” bentakku. “Rena, maafin aku. Aku khilaf ngeduain kamu tapi…”
“Nggak apa-apa Van…” Rena memotong ucapanku. “Aku udah tahu. Semalam Anton cerita semuanya ke aku. Sekarang aku nggak minta banyak dari kamu, aku cuma mau kamu memilih aku atau dia. Tapi, kamu harus tahu kalau aku sangat sayang sama kamu Van. Sangat…” ujar Rena tetap dengan air mata yang berlinang.
Kini, aku berada dalam dilema besar. Aku tak tahu harus memilih siapa. Jujur, aku mencintai dan menyayangi keduanya. Tapi, aku tak ingin menjadi orang yang egois. Aku hanya bisa terdiam. Kutatap mereka secara bergantian.
Kulihat Citra begitu berharap aku memilihnya. Tapi, saat aku beralih pada Rena, perasaan yang sama kulihat dalam raut wajahnya yang sayu.
“Maaf…” ujarku. “Aku tak bisa memilih siapapun di antara kalian. Kalian begitu berarti buat aku. Perasaanku ke kalian berdua sama besarnya. Dan aku tak ingin menyakiti satu di antara kalian. Maaf kalau keputusanku membuat kalian terluka. Tapi, aku tak ingin menyakiti satu hati. Aku harus bertindak adil. Aku harap kalian mengerti dan kalian harus tahu, kalian terlalu indah untuk disakiti. Mungkin kalian bisa menemukan yang lebih baik daripada aku.” Ujarku lagi. Aku pun beranjak pergi meninggalkan mereka berdua. Dengan perasaan terluka dan bersalah. Tapi, aku sungguh tak bisa memilih di antara mereka berdua. Dan kupikir ini yang terbaik.
Aku ingin belajar menata hidupku kembali dan mencari yang terbaik bagiku. Jika salah satu di antara Rena dan Citra adalah jodohku, ku yakin suatu saat kami akan bersatu. Tapi, bukan sekarang. Kini, mereka telah menjadi kenangan dalam hidupku. Tapi, tak menutup kemungkinan suatu saat salah satu di antara mereka menjadi masa depan buatku.
Aku terus berjalan. Langit sudah mulai menjingga. Burung-burung telah kembali ke singgasananya. Semuanya telah kuakhiri. Sebuah kisah cinta segitiga yang pedih yang melukai tiga hati. Termasuk aku. Aku sadar aku telah salah. Dan kuputuskan untuk memperbaiki segala kesalahanku. Mungkin dengan cara instrospeksi diri dan belajar dari sobatku Anton, karena ku tahu anton adalah cowok yang setia. Anton, gue pengen jadi cowok setia kayak loe! Hatiku berbisik lirih, tapi pasti.
END***
By: Rezky Yulia Ekaputri
1 Comments
Hai, blogwalking for today. Thanks for share! I will visit your blog again
ReplyDelete